[Giok Empat Musim] 1 ~ Kabar Dari Selatan


Pulang. Satu kata yang sangat berarti bagi Xi Xiafang setelah berkelana lama di daerah barat. Bukan berarti gadis muda itu, yang usianya mungkin 16 atau 17, tak ingin melanjutkan perjalanan. Kebetulan melewati Jiangling, ia menyempatkan diri memberi salam kepada ayah angkatnya.

Xi Xiafang baru melewati jalan utama ketika terdengar kegaduhan di kedai yang merangkap penginapan. Ia pun terhenti karenanya.

Dua orang berbadan besar keluar kedai sambil menyeret sesosok laki-laki berbaju biru kumal yang tampak mabuk. Laki-laki itu kemudian dilempar ke jalanan. “Jangan kembali lagi!” seru salah satu pria berbadan berbadan besar mengingatkan. Tetapi laki-laki yang dilempar tadi hanya terkekeh. Merasa diremehkan, pria satunya maju dan mencengkeram baju laki-laki itu. “Tertawa apa, hah? Sudah gelandangan, masih berani minum tidak bayar?! Sepertinya pelajaran yang tadi kami beri masih belum cukup!”

Pria itu menghempaskan kembali laki-laki berbaju biru ke tanah dan hendak menghajarnya lagi. Tak tahan dengan semua itu, Xi Xiafang maju untuk menghentikan mereka. “Hei, laki-laki ini sudah babak belur. Kedua Paman masih mau menghajarnya?”

“Kau gadis cilik jangan ikut campur.”

“Memangnya berapa hutangnya? Biar kubayar.”

Kedua pria bertubuh besar itu saling bersitatap, lalu tertawa. “Anak kecil dekil sepertimu punya uang dari mana?”

Anak. Kecil. Dekil. Tiga kata yang sudah lebih dari cukup untuk membuat Xi Xiafang habis kesabaran. Ia sebenarnya tadi benar-benar berniat membayarkan hutang laki-laki berbaju biru, tapi ia berubah pikiran. Xi Xiafang tiba-tiba tersenyum. “Aih, Kedua Paman jangan menindas gadis kecil sepertiku. Aku kan cuma kebetulan lewat dan ingin menolong. Apa salah? Lagi pula, Kedua Paman membuat keributan di depanku. Nanti menyesal.”

“Menyesal kenapa?”

Tak menjawab, Xi Xiafang bergerak sangat cepat ke hadapan kedua pria yang tampak terkejut itu. Masih tersenyum, Xi Xiafang meneruskan, “karena aku sangat kejam.”

Dengan gerakan yang bahkan lebih cepat lagi, gadis itu berputar ke belakang kedua pria itu dan memukul punggung mereka. Kedua pria itu langsung jatuh tersungkur.

Meski tadi terlihat Xi Xiafang hanya memukul sekali, sebenarnya itu pukulan bertubi-tubi yang dilancarkan dengan kekuatan dan kecepatan tingkat tinggi. Orang biasa takkan mungkin bisa melihat wujud asli pukulan itu. Tetapi sesosok bertudung di lantai dua kedai bisa melihatnya. Dan ia tersenyum karenanya.

“Tuan Muda, Nyonya menunggu di kamar.”

Suara yang merupakan milik seorang perempuan yang juga bertudung membuat sosok yang dipanggil “Tuan Muda” itu menoleh. Sang Tuan Muda kemudian memalingkan wajah kembali ke arah gadis kecil di jalanan yang sudah mulai menyeret laki-laki berbaju biru menjauhi tempat itu. “Ibu sudah datang?”

“Ya.”

“Katakan pada Ibu kalau kita baru saja menemukan petunjuk. Akan kubawa Xiang’er mengikuti petunjuk itu. Kau segeralah menyusul.”

“Ya, Tuan Muda.”

Si Tuan Muda langsung menjentikkan jari sambil mengibaskan jubahnya. Seketika ia menghilang dalam asap hitam. Perempuan bertudung pun beranjak dari tempat itu, bersiap melapor pada sang Nyonya.

 

Di kolong jembatan batu, Xi Xiafang menyodok laki-laki berbaju biru dengan ranting pohon yang tadi ditemukannya tidak jauh. Tetapi lelaki itu sudah ambruk tertidur saking mabuknya. Xi Xiafang hanya menggeleng-geleng tak paham. “Kalau tidak kuat minum, kenapa sampai memaksa minum, bahkan tak membayar? Dasar!”

Diamatinya lelaki yang tampak tak lebih tua dari kakak angkatnya itu. Paling hanya lebih tua lima atau enam tahun dari Xi Xiafang. Lelaki itu benar-benar babak belur. Baju birunya yang sudah kumal dan sobek kecil di beberapa ujungnya tak membantu sama sekali. Membuat Xi Xiafang tak bisa menerka asal usul lelaki itu. Tetapi kalau pakaiannya sedikit lebih bersih atau wajah dan tubuhnya tidak babak belur, terlihat cocok sebagai seorang yang terpelajar.

Matahari sudah mulai terbenam, dan Xi Xiafang belum juga mencapai rumah. Ia tak mungkin tahan menggendong lelaki itu pulang. Ayah angkatnya pasti salah paham. Tetapi meninggalkannya di sini begitu saja juga bukan tindakan terpuji.

Xi Xiafang akhirnya memutuskan pulang dulu untuk kemudian kembali sambil membawa bantuan. Baru ia hendak beranjak pergi, terdengar suara erangan dari lelaki berbaju biru. Xi Xiafang lalu berusaha membantu laki-laki itu bangun.

“Nona Kecil, aku… Apa yang terjadi?”

“Kau tadi mabuk dan menyebabkan keributan di sebuah kedai karena tak bisa membayar.”

Laki-laki berbaju biru hanya mengerjap-ngerjap, kemudian menepuk dahinya sendiri. “Lagi?”

Xi Xiafang membulatkan mata mendengarnya. Lagi? Itu artinya lelaki itu sering terjebak dalam masalah yang sama. Entah kenapa, itu membuat Xi Xiafang tertawa. “Kakak, kau benar-benar menarik. Xi Xiafang ini salut kau bisa bertahan hidup dengan cara seperti ini.”

“Bukan keinginanku juga. Tapi, apakah Nona yang menolongku?”

Xi Xiafang kembali tertawa. “Tidak usah dipikirkan. Kakak, siapa namamu?”

“Ah, tetap saja. Lu Yuanli ini berterima kasih atas budi baik Nona Xi.”

“Sekarang, lebih penting mengobati luka Kakak Lu. Aku mengenal seorang tabib yang sangat baik di kota ini. Sampaikan saja kalau Xi Xiafang memberi salam, dan Tabib Fan takkan memungut bayaran darimu.”

“Aku tidak tahu bagaimana harus—”

“Tidak perlu sungkan. Ayah Angkat selalu mengajariku untuk memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan. Tak peduli meski tidak kukenal. Kalau Ayah Angkat tahu aku meninggalkanmu begitu saja, aku pasti kena marah.”

Lu Yuanli lantas tersenyum. Membuat Xi Xiafang tertegun. Lelaki yang tersenyum itu seolah orang yang benar-benar berbeda dengan lelaki mabuk tadi. Walaupun memaksakan diri tersenyum dengan wajah babak belur seperti itu membuat Lu Yuanli tampak mengerikan, Xi Xiafang tak peduli, bahkan mulai tertawa lagi.

Xi Xiafang kemudian menunjukkan arah ke tempat praktek Tabib Fan. “Rumahku terletak di arah yang berlawanan, jadi aku tak bisa menemani Kakak Lu.”

Lu Yuanli hanya menggeleng pelan. “Begitu saja sudah merupakan bantuan besar untukku. Sekali lagi, terima kasih, Nona.”

Dengan kata-kata itu, mereka berpisah. Xi Xiafang segera menuju bagian timur kota. Bulan sudah naik ketika ia mencapai rumah tak terlalu besar dengan pagar setinggi leher sehingga mudah sekali jika gadis itu ingin melompati pagar dan mengejutkan seisi rumah. Tapi tidak. Kali ini Xi Xiafang ingin masuk ke rumah yang sudah menampungnya selama sepuluh tahun itu dengan cara lebih beradab. Maka ia menuju gerbang kayu di sisi selatan rumah.

Baru hendak mengetuk gerbang, Xi Xiafang dikejutkan dengan sesosok bayangan orang yang tiba-tiba melompat ke atas pagar. Gadis itu berubah waspada dan langsung bergerak cepat menerjang sosok itu sebelum sempat menginjak halaman rumah. Terjadi perkelahian kilat dalam gelap karena bulan telah disembunyikan awan. Xi Xiafang mengernyit pada tiap gerakan sosok itu. Ia menghentikan serangan dan mengambil jarak. Ia mengenali gerakan itu. Tampaknya sosok itu juga memikirkan hal serupa karena ia juga berhenti.

“Xiafang, kaukah itu?”

Xi Xiafang tak menjawab. Ia hanya bersidekap dengan sebelah alis terangkat. Begitu awan tersibak, tampak di hadapan gadis itu seorang laki-laki berbaju hitam dan berpenampilan klimis juga rapi. Tapi senyum ganjil di wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang amat kentara. Xi Xiafang seketika tahu bahwa rasa bersalah itu melibatkan hal lain, bukan perkelahian kilat barusan.

“Apa lagi yang Kakak lakukan sekarang? Kenapa mengendap-endap dan berusaha melompati pagar rumah sendiri?”

Lelaki itu, Han Changyi, adalah putra bungsu ayah angkat Xi Xiafang. Ia hanya bisa menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal setelah tepergok oleh adik angkatnya. “Ah itu … aku hanya … kau tahulah….”

“Aku tidak tahu. Katakan dengan jelas.”

“Ah, jadi—”

Gerbang tiba-tiba terbuka, mengejutkan keduanya. Seorang pria paruh baya sudah berdiri di muka gerbang sambil memasang wajah galak pada Han Changyi. Membuat lelaki itu seolah menyusut di bawah tatapan tajam pria itu. Tetapi sorot mata tajam itu berubah begitu saja ketika menangkap kehadiran Xi Xiafang. Senang sekaligus kaget. “Xiafang, kau seharusnya memberi kabar sebelum tiba-tiba muncul di depan rumah.”

Xi Xiafang langsung menjura pada pria itu. “Xiafang hormat pada Ayah Angkat.”

Pria itu, Han Jinlong, segera bergegas menghampiri putrinya. “Sudah, sudah. Ayo masuk, kau pasti lelah.” Ia kemudian menoleh pada putranya dengan tatapan yang kembali galak. “Dan kau, Han Changyi! Kenapa baru pulang selewat makan malam? Jangan katakan kau membuat masalah lagi.”

“Ah, itu … mana mungkin aku membuat masalah. Aku hanya pulang agak malam karena….”

Perlahan, Han Changyi melirik ke arah Xi Xiafang, meminta bantuan. Menangkap lirikan itu, Xi Xiafang hanya menghela samar. Gadis itu terpaksa bekerja sama. “Ayah Angkat, jangan salahkan Kakak. Tadi ia terhalang olehku. Karena lama tak bertemu, kami jadi lupa waktu.”

Sudah jelas Han Jinlong tidak langsung percaya. Ia menatap putri dan putranya bergantian. Ketika matanya berakhir menatap Han Changyi, seolah kekuatan sorot mata itu sanggup membunuh. “Benarkah?”

Melihat gelagat tak baik itu, Xi Xiafang segera menyela. “Ayah Angkat tak percaya?” Sengaja ia memajukan bibir dan mengerutkan kening, pura-pura merajuk. “Ayah Angkat berpikir aku berbohong, ya?”

Han Jinlong hanya menghela napas, lalu menepuk lembut kepala Xi Xiafang. “Mana mungkin. Tentu aku percaya padamu. Nah, sekarang ayo masuk, kalian berdua.”

“Baik.”

Sebelum mengikuti sang Ayah masuk, Han Changyi bertukar pandang dengan Xi Xiafang. Ada ungkapan terima kasih di sana. Dan Xi Xiafang membalasnya dengan tatapan yang berarti: “Kau berhutang padaku. Dan pembayaran hutangnya tidak akan murah.”

Han Changyi hanya bisa menghela napas pasrah melihat senyum kemenangan di wajah Xi Xiafang sebelum adik angkatnya itu masuk ke dalam rumah. Lelaki itu mengikuti setelahnya.

“Rumah sedang sepi,” kata Han Jinlong begitu mereka sampai di ruang tamu. Ia lantas duduk di kursi paling besar yang terletak tepat di seberang pintu. Kedua anaknya diminta duduk di deretan kursi sebelah kanannya. Ia lalu menoleh pada Xi Xiafang. “Ibu angkatmu sedang mengunjungi kakak pertamamu, Mei’er, di Luoyang.”

“Ayah Angkat tidak ikut ke Luoyang?”

Han Jinlong lalu memalingkan wajah kepada putranya. “Changyi masih harus belajar sastra dari Guru Wang sampai akhir minggu ini. Tidak tahu masalah apa yang bisa timbul jika aku meninggalkannya sendirian di rumah.”

Xi Xiafang refleks menoleh pada Han Changyi di sebelahnya hanya untuk menemukan tangan lelaki itu bergetar di pegangan kursi. Ia pun segera meraih tangan sang Kakak dan meremasnya erat. Perlahan, ia bisa merasakan tangan itu kembali tenang.

“Lupakan soal itu,” kata Han Jinlong setelah beberapa lama. “Kau sendiri bagaimana? Apa kau bertemu dengan Yu’er?”

Xi Xiafang menggeleng pelan. “Tidak ada siapa pun di sana. Bahkan aku tidak bertemu Kakek Guru. Tapi, aku sudah meletakkan abu Ibu di samping makam Ayah.” Pada titik ini, Xi Xiafang tercekat. Ia tak berharap sampai ke bahasan ini begitu cepat. Setelah berhasil menguasai diri kembali, ia melanjutkan, “Jadi, aku berkeliling daerah barat untuk mencarinya. Tapi bahkan tak ada petunjuk sama sekali.”

“Mengenai itu, mungkin aku punya petunjuk.”

Kata-kata Han Jinlong seketika membuat Xi Xiafang siaga, bahkan sepertinya Han Changyi tak tahu menahu soal itu karena lelaki itu juga sama waspadanya. Pria paruh baya itu kemudian merogoh sebuah surat dari dalam lengan bajunya, lantas diberikan kepada Xi Xiafang. “Ini datang tadi sore dari orang kita di kaki Gunung Heng Selatan.”

Begitu menerima surat itu, Xi Xiafang membukanya. Hanya ada satu kalimat di sana, ditulis besar-besar: Zhurong mengamuk.

Xi Xiafang dan Han Changyi saling bertukar pandang ngeri. Mereka tahu pasti bahwa hal buruk akan segera terjadi. Dan peringatan dalam surat itu hanyalah awal. Xi Xiafang lalu berpaling pada Han Jinlong, mencoba mencari di mata teduh sang Ayah sebuah harapan bahwa semua itu hanya sekadar firasat. Tetapi, mata itu menyiratkan kemungkinan terburuk. Xi Xiafang pun menggigit bibir keras. “Jadi, ini sudah dimulai?”

“Ya,” sahut Han Jinlong singkat, seolah berharap bisa menelan lagi jawabannya barusan. “Artinya, kau harus cepat-cepat menemukan Yu’er.”

“Surat ini…,” kata Han Changyi kemudian, “apakah ada kemungkinan Yu’er tahu tentang ini dan pergi ke selatan sehingga berselisih jalan dengan Xiafang?”

Han Jinlong mengangguk kecil. “Itulah yang kupikirkan. Tapi, Xiafang sudah ke Gunung Hua sejak berbulan-bulan lalu. Bagaimana anak itu tahu hal seperti ini akan terjadi?”

Seolah menjawab rasa penasaran Han Jinlong, Xi Xiafang hanya mendengus geli. “Api mempengaruhi logam begitu kuat. Kupikir Yu’er tidak tahu. Dia hanya bisa merasakan bahwa api di selatan sedang mengumpulkan kekuatan untuk bangkit. Karena itu dia pergi sejak jauh-jauh hari. Sedangkan mengenai Kakek Guru, bukankah menghilang sesuka hati dan muncul tiba-tiba di saat tak terduga sudah jadi kegemarannya sejak Ayah dan kedua Paman Guru meninggal?”

Han Jinlong hanya tersenyum getir ketika ketiga saudara seperguruannya itu disebut-sebut. “Kau benar.” Ia kemudian menghela napas panjang. “Nah, ini sudah terlalu malam. Kalian istirahatlah.”

“Baik,” sahut kedua anak itu bersamaan.

Segera setelah keduanya keluar dari ruangan, sebelum benar-benar berlalu, Xi Xiafang bisa melihat ayah angkatnya yang sedang memijit pangkal hidung. Itu adalah kebiasaan Han Jinlong ketika sedang berduka akan sesuatu. Dan Xi Xiafang tahu pasti apa itu.

“Apa Ayah Angkat masih merasa bersalah atas kematian Ayah dan kedua Paman Guru, Kak?” tanya Xi Xiafang begitu mereka sudah berada agak jauh dari ruang tamu.

“Tentu saja. Ayah selalu berkata bahwa jika ia hadir di Gunung Hua lebih dari sepuluh tahun yang lalu, mungkin ia bisa melakukan sesuatu.” Han Changyi terdiam sejenak, lantas mendengus geli tak lama kemudian. “Tapi, kau tahu? Aku selalu berpikir kalau kejadiannya seperti itu, Kakek Guru bukan saja hanya kehilangan ketiga muridnya, tapi empat sekaligus.” Menyadari sesuatu, ia kemudian menoleh pada adik angkatnya. “Apa kau pernah sekali saja menyalahkan Ayah karena tidak datang hari itu?”

Xi Xiafang menggeleng seketika. “Mana mungkin. Hari itu Ayah Angkat berduka atas kematian Kak Changsu karena perang di perbatasan. Siapa yang bisa menyalahkan duka seorang ayah karena kehilangan putranya?”

Keduanya tak bicara lagi sepanjang perjalanan menuju kamar masing-masing. Begitu sampai di pintu kamar Xi Xiafang, mereka berdua dikejutkan dengan pusaran angin kecil yang kemudian menjelma menjadi seekor salamander hijau. Sekelebat sayap muncul di punggung salamander hijau, membawanya melayang hingga sejajar dengan Xi Xiafang.

Ketika salamander hijau itu membuka mata, tatapannya tepat tertuju pada Xi Xiafang. Kemudian disertai dengan suara halus tetapi dalam dari mulut sang Salamander. “Salam, putri Lin Hua.”

Tinggalkan komentar